Rabu, 31 Oktober 2007

Artikel

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN UNTUK KUALITAS DAN PEMERATAAN
A. Pendahuluan
Menjelang tahun ajaran baru Kantor Pegadaian banyak didatangi orang. Banyak kita lihat ibu-ibu rumah tangga mendatangi Kantor Pegadaian sambil membawa beberapa lembar kain yang dimilikinya. Satu lembar kain dihargai Rp 5.000. Jika mereka membawa sepuluh lembar kain, uang Rp 50.000 sudah ditangan. Ada juga yang membawa panci/rantang untuk digadaikan. Harga barang yang terakhir ini sedikit lebih mahal dibandingkan selembar kain. Uang hasil menggadaikan barang itu akan digunakan sebagai tambahan modal untuk mendaftarkan anak-anak mereka masuk ke sekolah. Sedikit memang hasil yang didapat namun bagi mereka ini cukup berarti daripada tidak ada tambahan dana sama sekali.
Dalam hiruk pikuknya kampanye Pemilu 2004, baik legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, ternyata pendidikan menjadi komoditas kampanye yang paling banyak ditampilkan. Para kontestan pemilu, baik calonnya langsung ataupun melalui juru kampanyenya, dengan fasih menyampaikan visi dan misinya melalui pendidikan. Tidak tanggung-tanggung ada yang menjanjikan "pendidikan gratis", "bebas SPP", "menaikkan gaji guru", "menaikkan anggaran pendidikan", "memberikan beasiswa" dan janji-janji lainnya mengenai pendidikan untuk menarik para pemilih.
Dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan nasional yang dirumuskan oleh para pendiri negeri ini adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". Makna fundamental yang terkandung dalam pesan tersebut ialah bahwa kekuatan dan kemajuan suatu bangsa terletak dalam kualitas sumber daya manusianya. Kata kunci pengembangan sumber daya manusia ialah "pendidikan" bagi seluruh warga negara yang berlangsung sepanjang hayat sejak dari dalam keluarga, di sekolah, dan di dalam kehidupan secara keseluruhan.
B. Permasalahan
1. Biaya Pendidikan
Perihal pendanaan pendidikan masih menjadi akar dari tidak tuntasnya problem pendidikan di Indonesia. Masih banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa sekolah, atau harus putus sekolah, hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah. Beragam usaha pun dilakukan untuk meminimalkan angka putus sekolah ini. Di beberapa daerah, sudah muncul inisiatif dari pemerintah daerah untuk menekan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di sekolah-sekolah negeri menjadi serendah mungkin, bahkan ada yang menggratiskan SPP untuk sekolah negeri.Kebijakan menggratiskan SPP bisa dilihat sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap pentingnya akses atas pendidikan. Namun rupanya kebijakan macam ini masih belum menyentuh pada akar masalah kesulitan pendanaan pendidikan keluarga miskin, apalagi menyelesaikan masalah. Di Jakarta, meskipun sebagian besar warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan pemerintah daerah yang menggratiskan SPP namun mereka masih khawatir tidak bisa membiayai sekolah anak-anak mereka (Kompas, 13/6).
Kebijakan menggratiskan SPP memang cukup efisien bagi pemerintah dan kepala daerah untuk menarik perhatian publik sekaligus mendongkrak citra dan popularitasnya. Akan tetapi, SPP bukanlah komponen utama (dan terbesar) ketika berbicara tentang biaya pendidikan. Ada komponen biaya pendidikan lainnya yang menghantui warga masyarakat. Ironisnya biaya pendidikan yang menghantui ini muncul akibat kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri.Tentang buku pelajaran, misalnya. Sekarang bukan jamannya kakak kelas bisa mewariskan buku pada adik kelasnya. Mulai tahun ajaran 2007/2008 nanti kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sudah berganti dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Artinya, buku pelajaran yang digunakan pun harus ganti. Buku yang dipakai tahun ini tidak bisa dipakai untuk tahun berikutnya. Kondisi semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Hampir setiap tahun buku pelajaran harus ganti seiring dengan berubahnya kurikulum yang diberlakukan pemerintah. Meskipun kurikulum tidak berganti, namun buku pelajaran harus direvisi untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kesesuaian dengan kurikulum yang berlaku. Setelah beberapa tahun berjalan, ketika buku sudah sesuai dengan kurikulum, pemerintah pun membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum. Logika buku pun tak kalah dengan prinsip yang dipakai oleh produk-produk instan, “sekali pakai langsung buang”. Pergantian kurikulum memang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita, namun pemerintah seperti tidak pernah jera melihat efek domino dari pergantian kurikulum itu.
Hal ini dilihat sebagai peluang proyek bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari siswa. Tak jarang pihak sekolah pun terlibat dalam proyek pengadaan buku dengan mewajibkan siswanya untuk membeli buku pelajaran melalui sekolah. Namun pengadaan buku kolektif oleh pihak sekolah pun tidak membuat harga buku menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga di toko buku. Tak jarang, harga buku yang ditawarkan sekolah jauh di atas harga ‘normal’.
Lalu, siapa yang bisa membeli buku? Ya, tentu saja, anak yang berasal dari keluarga mampu, sementara anak-anak dari keluarga miskin hanya bisa gigit jari. Buku sebagai gudang ilmu pun semakin jauh dari kelompok yang terakhir, pengetahuan pun semakin sulit terjangkau.
Kebijakan lain yang juga berdampak pada masalah membengkaknya dana pendidikan adalah ujian nasional. Sistem ujian nasional telah mendorong para siswa, guru dan orangtua untuk terikat dengan layanan jasa yang ditawarkan lembaga bimbingan belajar (LBB). Peran guru sebagai pendidik pun digantikan oleh para tentor dari LBB. Siswa dilatih agar terampil mengerjakan soal secara benar, tanpa perlu mengetahui substansi dari mata ajar yang dikerjakan.
Akibatnya, bisa jadi siswa yang memiliki cukup uang dan bisa ikut LBB akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk lulus ujian nasional karena mereka bisa menjawab soal-soal ujian nasional secara lebih cepat dan tepat. Nasib kurang beruntung dialami siswa dari keluarga pas-pasan yang tidak memiliki kelebihan uang untuk menyertakan anaknya di LBB. Akibatnya, semakin sedikit dari kelompok ini yang menjadi terampil dalam mengerjakan soal-soal ujian nasional. Kesempatan untuk lulus pun semakin jauh.
Salah satu tujuan pendidikan adalah kesempatan untuk menaikkan status sosial keluarga miskin. Akan tetapi dari fakta kebijakan pendidikan yang ada justru mengarah pada hal yang sebaliknya. Sekolah sebagai sarana meningkatkan martabat keluarga miskin hanyalah mitos belaka. Sekolah telah menjadi sarana utama untuk menghisap modal-modal ekonomi masyarakat, berlaku juga bagi keluarga miskin. Maka benarlah yang ditulis sosiolog Prancis Pierre Bourdieu, sekolah pun hanya berfungsi untuk mereproduksi perbedaan dalam masyarakat (distinction).
Pendidikan yang berkualitas butuh biaya yang tidak murah. Kondisi ekonomi keluarga memang kerap tidak bersahabat bagi anak-anak dari keluarga miskin yang ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Pertanyaannya, apakah biaya pendidikan itu harus ditanggung sendiri oleh anak-anak dari keluarga miskin? Tak bisakah pemerintah membuat kebijakan yang memang memperhatikan kepentingan anak-anak ini.
2. Satuan Biaya Pendidikan
Menurut perkiraan Depdiknas, untuk terwujudnya pendidikan bermutu, satuan biaya per tahun per siswa ialah Rp 13.446.500 untuk SD, Rp 27.436.500 untuk SMP, Rp 35. 522.690 untuk SMA dan SMK sekitar 40 juta. Dengan demikian jelas bahwa biaya pendidikan itu sangat besar atau tidak mungkin murah apalagi gratis terutama bagi kalangan tidak mampu.
Penelitian Fattah (2000), Supriadi (2001), mengungkap, sebagian besar sumber pembiayaan pendidikan dasar masih bertumpu pada sumber pendanaan dari masyarakat dan anggaran pemerintah, tetapi proporsinya masih lebih banyak ditanggung masyarakat. Hasil penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Depdiknas (2004) menemukan, besaran biaya satuan pendidikan keseluruhan di SD sebagian besar (73,53%) menjadi beban orang tua. Demikian pula biaya satuan pendidikan keseluruhan di SMP, 70,88% masih menjadi tanggungan orang tua siswa. Sementara persentase yang ditanggung pemerintah lebih kecil. Tingginya biaya pendidikan yang ditanggung orang tua disebabkan banyaknya komponen biaya pendidikan yang menjadi beban orang tua, seperti biaya transportasi bagi siswa, biaya pembelian seragam, dll. Alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk komponen biaya penunjang, yang menyangkut penyediaan sarana dan prasarana, seperti gaji guru, pengembangan fisik sekolah, pengadaan buku pelajaran, dan lain-lain.
Masalahnya ialah siapa yang membiayai pendidikan dalam kenyataan bahwa sebagian besar warga negara dalam kondisi kurang mampu secara ekonomis. Bagi mereka, pendidikan dirasakan sangat mahal karena berada di luar jangkauan kemampuan ekonominya. Dalam situasi seperti ini, sebutan yang lebih tepat adalah bukan "pendidikan murah" tetapi "pendidikan yang terjangkau" sesuai dengan kondisi ekonomi masing-masing pengguna jasa pendidikan yaitu peserta didik, orang tua, dan masyarakat pada umumnya.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana agar pendidikan dapat terjangkau oleh semua pengguna jasa tersebut? Di sinilah letak permasalahannya di satu pihak pendidikan bermutu memerlukan biaya yang besar, tetapi di pihak lain rendahnya kemampuan orang tua dan masyarakat untuk membayar biaya pendidikan itu.
3. Kesenjangan pendidikan
Pemerataan pendidikan berkualitas masih digayuti halangan. Kesenjangan status sekolah antara penduduk di pedesaan dan perkotaan adalah salah satu indikasi tidak meratanya akses pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2004, dari seluruh penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan, sekitar 11 persen penduduknya tidak atau belum pernah sekolah. Sementara penduduk di perkotaan "hanya" 4,5 persen yang tidak atau belum pernah sekolah. Dari angka itu, bisa dikatakan terjadi kesenjangan yang cukup signifikan antara jumlah penduduk terdidik di kota dan desa.
Status pendidikan penduduk di dua pembagian wilayah di atas kemudian bisa dikaitkan dengan besar pengeluaran rumah tangga mereka per bulan. Mayoritas penduduk di desa memiliki besaran pengeluaran Rp 100.000 hingga Rp 149.000 sebulan. Sementara penduduk di kota lebih besar pengeluarannya, yaitu pada rentang Rp 200.000 hingga Rp 299.000. Ada dua hal yang dapat melatarbelakangi lebih besarnya pengeluaran rumah tangga per bulan orang kota dibandingkan dengan orang desa. Yang pertama, biaya hidup di kota lebih tinggi sehingga pengeluaran pun lebih besar. Yang kedua, penghasilan penduduk perkotaan memang lebih besar. Apa pun penyebabnya, ketimpangan ini secara tidak langsung berefek pada kesempatan mereka mencicipi pendidikan.
Dengan jumlah pengeluaran yang lebih besar, otomatis penduduk yang tinggal di kota mengalokasikan dana lebih besar pula untuk pendidikan. Jika orang kota menghabiskan 4,27 persen dari pengeluaran per kapita dalam sebulan untuk pendidikan, orang desa hanya 2,27 persen dari konsumsi bulanannya. Perbedaan ini menimbulkan dua asumsi. Pertama, dibandingkan dengan penduduk di perkotaan, orang desa belum terlalu memprioritaskan pendidikan sehingga porsi pengeluaran per bulan untuknya pun lebih kecil. Kedua, biaya pendidikan di perkotaan memang jauh lebih mahal sehingga menyedot lebih banyak pengeluaran penduduk kota.
Tanpa muluk-muluk bermimpi memperoleh pendidikan bermutu, kenyataannya masih ada sejumlah penduduk yang bahkan belum pernah merasakan pendidikan. Pada tahun ajaran 2005/2006 tercatat angka partisipasi murni (APM) di tingkat sekolah dasar belum mencapai 100 persen (94 persen). Demikian juga APM di jenjang pendidikan dasar selanjutnya atau di tingkat sekolah menengah pertama baru sekitar 62 persen.
Selain APM, masih adanya penduduk buta aksara di Tanah Air juga menunjukkan akses pendidikan belum merata. Pada tahun 2005 masih ada 9,55 persen penduduk laki dan perempuan yang berstatus buta aksara. Tahun 2006 persentasenya menjadi 8,07 persen dari total penduduk. APM dan angka buta aksara adalah indikator yang cukup berperan dalam melihat ketersediaan akses pendidikan.
4. Distribusi Guru
Guru tersebar dengan sangat tidak merata di Indonesia. Kurang lebih 55 persen dari sekolah memiliki kelebihan guru, sementara 34 persen kekurangan. Sebagian besar sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah pedesaan, mengalami kelebihan jumlah guru, sementara 66 persen sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan tenaga guru yang serius.
5. Kulitas Pendidikan
Dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 13-14 Juni 2007 mengenai persiapan tahun ajaran baru, responden di 10 kota besar di Indonesia menyatakan memprioritaskan kualitas guru dalam memilih sekolah untuk anak- anak mereka. Hal ini tak lepas dari pandangan masyarakat secara umum yang menganggap syarat pendidikan yang berkualitas adalah apabila gurunya juga berkualitas. Dari beberapa alternatif prioritas yang ditanyakan dalam memilih sekolah, sebanyak 33,1 persen responden mengutamakan mutu guru dan sisanya bervariasi antara kurikulum, mutu lulusan, biaya, dan lain-lain.Selain kualitas guru, kepada responden juga ditanyakan pendapat mengenai biaya masuk yang harus dibayarkan orangtua saat mendaftar sekolah untuk anak-anak mereka. Pada responden yang memiliki pengeluaran rumah tangga di atas Rp 3 juta per bulan, mayoritas (40 persen) berpendapat biaya masuk sekolah itu tidak memberatkan. Lain halnya dengan mereka yang memiliki pengeluaran rumah tangga di bawah Rp 1 juta hingga Rp 3 juta sebulan, biaya masuk sekolah dianggap cukup memberatkan, bahkan ada yang mengatakan sangat memberatkan. Padahal, untuk membayar seluruh biaya yang berkaitan dengan kebutuhan sekolah, mayoritas orangtua (80 persen) hanya mengandalkan pendapatan bulanan sebagai satu-satunya sumber dana bagi seluruh kebutuhan. Artinya, mereka tidak berharap memiliki dana talangan di luar pendapatan rutin untuk membayar kebutuhan sekolah anak.
Dari beberapa rekam pendapat di atas, sedikitnya menunjukkan betapa orangtua gamang terhadap kondisi pendidikan saat ini. Keresahan orangtua terhadap beban biaya pendidikan akan sangat sulit apabila disandingkan dengan keinginan untuk memperoleh kualitas pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka.
Karena, seperti yang telah dikatakan, pendidikan berkualitas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, dengan adanya berbagai keluhan tentang biaya pendidikan, dikhawatirkan, bibit-bibit keresahan itu suatu saat akan menjadi bom waktu melonjaknya angka putus sekolah di Indonesia.

6. Investasi Pada Pendidikan
Indonesia menghabiskan 16.5 persen anggarannya untuk pendidikan. Jumlah ini hampir setara baik dengan negara-negara berkembang lainnya, maupun dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development-OECD). Tetapi, tingkat belanja Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, dan sejak tahun 1980-an, Indonesia telah secara komparatif menghabiskan lebih sedikit pada pendidikan, yang menyebabkan pelapukan gedung sekolah dan berkontribusi terhadap hasil belajar siswa yang tetap rendah.
Belanja pendidikan telah meningkat secara pasti dan diharapkan untuk meningkat lebih jauh lagi. Ini adalah salah satu indikasi dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan pelayanan. Belanja publik untuk pendidikan telah meningkat secara pesat, dari 2.5 persen pada PDB tahun 2001 menjadi sekitar 3.5 persen pada 2006. Sebagai hasilnya, belanja pendidikan, sebagai bagian dari total belanja, sekarang sudah berada pada tingkat yang bisa dibandingkan dengan sejumlah negara berpenghasilan menengah, bahkan dengan beberapa negara OECD. Akan tetapi, beberapa negara tetangga (Malaysia, Thailand dan Filipina) cenderung memiliki anggaran pendidikan yang lebih yang lebih tinggi, sampai dengan 28 persen dari anggaran mereka.
Terdapat inkonsistensi struktural dalam komposisi belanja pusat-daerah. Pemerintah daerah menyediakan sebagian besar pendanaan (70 persen) untuk pendidikan, tetapi hampir semuanya dianggarkan untuk gaji guru, walaupun skala gaji ditentukan oleh pemerintah pusat. Di lain pihak, pemerintah pusat mendominasi anggaran investasi, padahal tanggung jawab untuk menjalankan, membangun dan merehabilitasi sekolah, ada di pemerintah daerah.
Menerapkan mandat 20 persen bagi pendidikan dengan definisi yang ada saat ini, dengan mengecualikan pengeluaran untuk gaji guru dari patokan ini, sangat tidak realistis juga problematik. Hampir tidak mungkin untuk mencapai 20 persen, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah, terutama bila pengeluaran gaji tidak dimasukkan. Pemerintah daerah cenderung menghabiskan sebagian besar anggaran pendidikan mereka untuk gaji. Agar bisa mencapai tingkat 20 persen sesuai definisi yang ada, belanja daerah untuk pendidikan harus meningkat dari angka saat ini yaitu 28 persen (dimana sebagian besar dialokasikan untuk gaji), menjadi paling tidak 45 persen. Pemerintah pusat juga harus melipat gandakan tingkat belanja yang ada sekarang, dan membelanjakan kelebihannya untuk belanja non-gaji. Peningkatan sumber daya di tingkat pusat menjadi 20 persen sangat bertentangan dengan logika desentralisasi dengan mendorong lebih banyak belanja pusat untuk sektor-sektor yang didesentralisir. Definisi yang berlaku sekarang juga menciptakan insentif yang buruk dalam menetapkan kelompok gaji tertinggi menjadi belanja tidak lancar.
C. Pembahasan
Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa "setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya". Masih dalam pasal itu juga dinyatakan bahwa pemerintah mengupayakan tersedianya dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak, "mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" dan "mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" (ayat 1 huruf c dan d).
Pasal 40 ayat (1) menyebutkan bahwa, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat". Alokasi dana pendidikan dalam pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas harus diimplementasikan secara nyata dalam keseluruhan kinerja pendidikan nasional. Tidak kalah pentingnya ialah unsur "guru dan tenaga kependidikan lainnya" harus berada dalam posisi sentral dalam pola-pola manajemen pendidikan yang berbasis paradigma pendidikan. Bila hal itu dapat diwujudkan, besar harapan setiap warga negara dapat memperoleh haknya mendapatkan pendidikan dengan biaya terjangkau sesuai dengan kemampuan ekonomis masing-masing. Hal ini mengandung makna bahwa apa yang dijanjikan dalam kampanye dapat dinikmati langsung oleh seluruh rakyat selaku para pemilih dan pemilik. Semoga pemerintahan hasil Pemilu 2004 dapat mewujudkan pendidikan nasional untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai landasan keunggulan bangsa dalam persaingan global.
Pendidikan memang tidak harus mahal, tetapi untuk menghasilkan pendidikan bermutu tinggi pasti butuh ongkos yang tidak murah. Faktor mahalnya biaya untuk mencapai pendidikan yang berkualitas disebabkan kebutuhan akan komponen-komponen pembelajaran yang tentu harus berkualitas.
Pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat harus bertanggung jawab menyediakan dana pendidikan agar mereka yang tidak mampu secara ekonomis memperoleh haknya mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara harus merasakan bahwa pendidikan sebagai hak dan kewajiban dapat mereka peroleh dengan jangkauan biaya yang sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka. Pengalaman empiris telah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang telah menikmati kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya adalah bangsa yang memulai pembangunannya melalui pendidikan meskipun mereka tidak memiliki sumber daya alam. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka dapat menikmati kemakmuran bangsanya. Sebagai contoh adalah negara-negara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Cina, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan sebagainya.
Penyediaan guru yang kompeten ataupun fasilitas pendidikan yang lengkap dan memadai butuh biaya yang tidak sedikit. Meski demikian, tingginya biaya dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu semestinya tidak menjadi kambing hitam dalam permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Di sinilah pemerintah seharusnya berperan dalam menjamin hak seluruh warga dalam mengakses pendidikan karena pendidikan bermutu bukan hanya hak sebagian orang. Konstitusi tertinggi di negeri ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, telah mengamanatkan kepada negara untuk menjamin pendidikan warganya. Bahkan, pendanaan pendidikan dasar sepenuhnya menjadi kewajiban pemerintah. Hal ini tercantum dalam Pasal 31 Ayat 1 dan 2 mengenai hak warga negara memperoleh pendidikan dan pembiayaan pendidikan dasar oleh negara. Pendidikan adalah faktor penting untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Kenyataannya, tidak semua orang dapat memperoleh pendidikan karena mahalnya biaya yang dikeluarkan. Kondisi inilah kemudian mendorong dimasukkannya klausul tentang pendidikan dalam amendemen UUD 1945. Konstitusi mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan biaya pendidikan 20% dari APBN maupun APBD agar masyarakat dapat menikmati pelayanan pendidikan
Akan tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), ketentuan UUD di atas menjadi tidak jelas lagi dengan adanya bunyi Pasal 46 Ayat 1 tentang peran pemerintah dan masyarakat dalam pendanaan pendidikan.
Perluasan kewajiban pendanaan pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah, juga masyarakat, menjadikan Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 mengabur maknanya dan "ambigu".
Peran pemerintah, menurut ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto, yang juga praktisi pendidikan dan pakar di bidang pengembangan kurikulum, mengatakan, pemerintah semestinya benar- benar menjalankan program wajib belajar pendidikan dasar (SD-SMP) bagi seluruh warganya. Wajib belajar di sini artinya, seluruh warga negara tanpa kecuali, yang berada pada usia pendidikan dasar, harus mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Seluruh biaya, termasuk kelengkapan sekolah, pada pendidikan dasar semestinya ditanggung pemerintah. Artinya, peserta belajar hanya tinggal datang ke tempat belajar. Bagi warga yang menolak program ini bisa dikenakan sangsi," katanya.
Ia menambahkan, bila komitmen pemerintah dalam mengalokasikan dana pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sungguh-sungguh dilakukan, tak mustahil program ini akan dapat dijalankan. Saat ini anggaran pendidikan yang ditetapkan pemerintah baru sekitar 10,7 persen dari total APBN 2007.
Pendapat Soedijarto, guru besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, menggambarkan bahwa pendidikan berkualitas seharusnya memang merata dinikmati masyarakat, tanpa kecuali. Status ekonomi mereka seharusnya tidak jadi halangan untuk menikmati pendidikan bermutu. Itu akan terjadi, jika pemerintah benar-benar berkomitmen mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua.Terakhir Jika buta aksara bisa ditiadakan dan pencapaian APM sudah seratus persen, langkah awal mewujudkan pendidikan untuk semua bisa dikatakan tercapai.
Untuk mewujudkan belanja pendidikan yang meningkat menjadi pelayanan yang lebih baik, Indonesia harus mengatasi tiga tantangan utama:
• Meningkatkan komposisi belanja, dalam sektor pendidikan dan antar sektor;
• Membuat belanja pendidikan menjadi lebih adil; dan
• Meningkatkan efisiensi belanja pendidikan.

1. Meningkatkan Komposisi Belanja
Karena angka partisipasi pendidikan dasar hampir mencapai target (94 persen,lihat hal.6), fokus pada jenjang ini harus diarahkan kepada investasi dalam merehabilitasi infrastruktur pendidikan dan meningkatkan kualitas pengajaran. Indonesia hampir mencapai angka partisipasi penuh untuk pendidikan dasar, sehingga pada jenjang sekolah dasar, perhatian utama seharusnya diarahkan pada peningkatan akses untuk daerah terpencil yang sudah ditetapkan. Akan tetapi, angka partisipasi 100 persen pun mungkin tidak bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan dan upaya pemberantasan kemiskinan bila kualitas pendidikan dasarnya buruk. Banyak sekolah dasar tidak memiliki infrastruktur yang memadai maupun guru yang memenuhi persyaratan mengajar minimum. Komposisi belanja diantara program harus disesuaikan agar lebih mendukung perbaikan infrastruktur dan pelatihan guru.
Pengalokasian sumber daya tambahan untuk sekolah menengah pertama sangat diharapkan karena angka partisipasinya masih rendah, terutama pada kuintil termiskin dari seluruh populasi. Alokasi untuk pendidikan menengah pertama hanya 15 persen dari total belanja pendidikan – sama dengan alokasi pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Mengalokasikan sumber daya tambahan pada jenjang pendidikan menengah pertama akan menghasilkan angka pengembalian yang lebih tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding pendidikan dasar. Pemerintah telah menangani kesenjangan investasi pendidikan dasar, dengan tepat, tetapi fokus dikemudian hari harus diarahkan lebih kepada peningkatan kualitas pendidikan dan angka partisipasi pendidikan menengah pertama.

2. Membuat Belanja Pendidikan Lebih Merata
Diskrepansi pada tiap daerah dalam hal akses dan kualitas bisa dikurangi melalui penargetan yang lebih baik. Karena ada perbedaan yang signifikan pada akses dan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah bisa mengalokasikan dana pendidikan untuk menyediakan sumber daya yang cukup bagi kabupaten dan provinsi yang tertinggal agar bisa mengejar ketertinggalan dari daerah lain yang lebih maju. Pemerintah daerah yang lebih miskin cenderung menghabiskan lebih dari 35 persen anggaran mereka untuk sektor pendidikan, tetapi tingkat belanja absolut mereka rendah jika dibandingkan dengan daerah yang lebih kaya. Aliran dana dari pemerintah pusat harus bisa memastikan bahwa anggaran belanja yang dikeluarkan akan menghasilkan askses pelayanan yang lebih adil.
Program Bantuan Operasi Sekolah (BOS) yang baru adalah perkembangan penting di bidang pendanaan pendidikan, dan bisa menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kemampuan, walaupun ada bidang-bidang yang bisa diperbaiki. Dana BOS mewakili 12 persen dari keseluruhan anggaran pendidikan yang disatukan. Tiga hal penting yang harus diperhatikan ketika merancang program serupa, di masa yang akan datang:
Ø Walaupun pengaliran dana langsung ke sekolah mungkin bisa mengatasi kebocoran, tetap diperlukan pemantauan dan penelusuran dana untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan alokasi sumber daya yang salah.
Ø Karena besarnya hibah ditentukan berdasarkan jumlah siswa, sekolah akan memiliki insentif untuk menggelembungkan angka partisipasi bila tidak ada mekanisme kontrol yang diterapkan.
Ø Program ini tidak menmberikan persyaratan mengenai penilaian kinerja atau transparansi anggaran untuk sekolah, sehingga sulit untuk menilai pengaruh program ini terhadap uang sekolah dan kualitas pengajaran. Walaupun sebagian besar penduduk termiskin memiliki akses pendidikan dasar, mereka terhambat pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Indonesia harus berfokus pada perbaikan angka partisipasi, terutama untuk jenjang pendidikan menengah pertama, karena memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan angka partisipasi yang rendah. Angka yang lebih tinggi dari masyarakat miskin yang mendapatkan pendidikan menengah pertama akan menjadi batu loncatan kepada pendidikan yang lebih tinggi. Program yang ditargetkan akan bisa mengatasi hambatan ini dengan dua cara:
Menangani sisi permintaan dengan mengurangi pengeluaran rumah tangga atau memitigasi pendapatan tetap melalui mekanisme seperti misalnya cash transfer.
Menangani sisi pasokan, yakni, potensi kekurangan infrastruktur pendidikan, melalui konversi beberapa sekolah dasar menjadi sekolah menengah pertama, pembangunan sekolah baru, atau keduanya.

3. Meningkatkan Efisiensi Belanja Pendidikan
Guru akan tersebar dengan lebih merata bila formula penempatan yang digunakan untuk mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah. Saat ini, tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid, dengan memberikan kemudahan bagi sekolah yang lebih kecil. Reformasi ini bisa dibarengi dengan memberikan fleksibilitas yang lebihbesar dalam hal kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru. Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan yang baik – yang idealnya dilaksanak oleh masyarakat setempat.

Kelebihan Ketersediaan Tenaga Guru
Formula alokasi yang sekarang mendorong adanya kelebihan guru di banyak sekolah, yang berjumlah 10 persen dari total anggaran pendidikan. Sekolah-sekolah menyerahkan persyaratan pasokan guru mereka ke kantor wilayah, dan wilayah lalu mengajukan permintaan tenaga guru tambahan sesuai jumlah yang diperlukan kepada Depdiknas. Kemudian Depdiknas mengalokasikan guru ke kabupaten dan menyediakan tambahan gaji guru melalui DAU. Dengan sistem ini, sekolah dan kabupaten memiliki insentif yang besar untuk meminta sumber daya lebih banyak (dimana kebanyakan akan menganggur), dan sedikit sekali insentif untuk menggunakan sumber daya guru secara efisien.
Walaupun penerapan kebijakan pengaliran dana yang efektif akan mendistribusi guru secara lebih adil, tantangan terbesar saat ini adalah mengurangi kelebihan ketersediaan tenaga guru. Karena guru adalah pegawai negeri sipil, hanya ada beberapa pilihan untuk mengurangi jumlahnya, selain pensiun atau “pensiun dini”, dan solusi yang terakhir akan sangat mahal dalam jangka pendek. Strategi pendamping yang penting adalah bagaimana mengurangi masuknya calon guru ke institusi pelatihan dan mengorientasikan kembali guru-guru sekolah dasar ke Program Pendidikan Anak Dini Usia (PADU), bidang yang hanya menerima sedikit sekali perhatian saat ini.

Gaji Guru dan Undang-undang Guru yang baru
Gaji guru lebih rendah dari pekerja dan pegawai negeri sipil dengan tingkat pendidikan yang sama dan tidak memberikan kompensasi yang cukup bagi guru sekolah menengah dan guru yang bekerja di daerah terpencil. Walaupun kesenjangan gaji menjadi lebih kecil bila dianalisa dengan menggunakan skema gaji per jam, guru mendapatkan gaji lebih kecil daripada rekan mereka pegawai negeri sipil non guru. Sebagai tambahan, praktik perekrutan guru honorer yang tersebar luas dengan gaji yang ditetapkan di tingkat kabupaten/kota menimbulkan kesenjangan di daerah dalam hal tingkat gaji guru, selain itu juga mempersulit upaya penempatan ulang tenaga guru.
Program sertifikasi guru yang baru, sedikit banyak mengatasi sebagian masalah-masalah ini dengan meningkatkan gaji pokok guru bagi mereka yang memiliki tingkat kualifikasi lebih tinggi, kinerja yang lebih baik dan/atau ditempatkan di daerah terpencil. Akan tetapi, undang-undang guru yang baru akan meningkatkan belanja pendidikan secara substansial, karena pengeluaran yang baru untuk lima tahun kedepan akan kurang lebih dua kali lipat daripada anggaran pendidikan nasional yang sekarang.
Pengeluaran yang besar yang timbul sebagai akibat dari undang-undang baru ini bisa ditutupi sebagian dengan mengurangi kelebihan ketersediaan tenaga guru dan jumlah guru paruh waktu secara bersamaan. Hal tersebut berarti mempersiapkan tenaga guru berijazah secara bertahap selama lima sampai sepuluh tahun kedepan untuk menggantikan sejumlah besar tenaga guru yang akan pensiun di kemudian hari.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam proses keseluruhan pembangunan nasional.
Pendidikan terutama pendidikan bermutu tidak mungkin murah apalagi gratis karena untuk berlangsungnya suatu pendidikan yang berproses secara baik dan menghasilkan keluaran yang bermutu memerlukan dukungan sarana dan biaya yang besar. Jadi pendidikan itu memerlukan biaya yang besar untuk menunjang seluruh proses pendidikan seperti bangunan, sarana pendidikan, alat bantu belajar, buku-buku, laboratorium, guru, manajemen, proses pembelajaran,dan sebagainya. Pendidikan memerlukan biaya yang besar, jadi tidak bisa murah apalagi gratis, tetapi harus dalam bentuk pendidikan dengan biaya terjangkau dengan tanggung jawab pemerintah untuk menutupi kesenjangannya.
Pemerintah harus ada kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan sehingga ditempatkan sebagai prioritas dalam keseluruhan pembangunan bangsa dengan segala konsekuensinya termasuk pendanaan pendidikan. Dana pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-undang Sisdiknas harus direalisasikan secara konsekuen. Di samping itu harus diupayakan optimalisasi peran serta masyarakat dalam memberikan dukungan dana bagi pendidikan sehingga kelompok masyarakat yang tergolong mampu dapat membantu mayarakat yang tergolong kurang mampu. Salah satu bentuknya adalah melalui kebijakan sistem perpajakan yang mengatur masuknya dana pendidikan secara khusus dari semua bentuk pajak yang dibayarkan oleh warga negara. Di sisi lain, evaluasi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyaluran anggaran perlu dilakukan secara sinergis dan integratif antar-stakeholders. Untuk mewujudkan kondisi ini, perlu dibangun rasa saling percaya, baik internal pemerintah maupun antara pemerintah dengan masyarakat, dan antara masyarakat dengan masyarakat, sehingga high trust society dapat ditumbuhkan. Keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, hingga pengawasan menjadi kata-kata kunci untuk mewujudkan efektivitas pembiayaan pendidikan
Indonesia hampir berhasil mencapai partisipasi universal dalam pendidikan tingkat dasar. Menyediakan akses terhadap pendidikan tingkat dasar bukanlah lagi tantangan utama pembangunan, walaupun masih tetap penting untuk menargetkan sisa 6 persen anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan dasar. Pemerintah menangani masalah kesenjangan investasi dalam pendidikan dasar dengan tepat, tetapi penanganan di kemudian hari harus lebih dititik beratkan pada peningkatan angka partisipasi dan kualitas pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Dalam tahun-tahun yang akan datang, Indonesia akan memiliki sumber daya untuk meningkatkan hasil pendidikan lebih jauh. Indonesia kemungkinan akan mendapatkan tambahan pendapatan fiskal yang berasal dari penerimaan yang meningkat, pembayaran biaya hutang yang lebih rendah, dan pengurangan subsidi. Sejak pengurangan subsidi BBM pada tahun 2005, Indonesia telah menghasilkan hampir US$ 10 miliar yang bisa digunakan untuk proyek pembangunan, dan sektor pendidikan sudah mendapatkan keuntungan dari peningkatan anggaran baru-baru ini.

Bahan Bacaan :
Fattah & Supriadi,2004 Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang,Depdiknas
Orang Muda, 2007 Kebijakan Pendidikan yang memiskinkan, WordPress.com/ weblog
Panca,Palupi,2007 Pendidikan Berkualitas Seharusnya untuk Semua,kompas cyber
Media,www.kompas.com
______Public Expenditure Review,Spending for Development:Making the Most of
Indonesia’s New Opportunities
Surya, Muhammad,2007 Kemampuan Orang Tua dan Masyarakat Rendah untuk
Membayar Biaya Pendidikan,artikel,www.pikiranrakyat.com

Oleh-Oleh dari Padang

Buat Rekan-Rekan PPn Pendidikan se Indonesia ada baiknya kita jalin komunikasi yang intens di wadah ini,mudah-mudahan berkenan.Saran dan kritiknya,.tentu.Salam dan selamat berkutat kuliah

Pendanaan Pendidikan dan

PENDANAAN PENDIDIKAN JENJANG PENDIDIKAN DASAR DAN PERMASALAHANNYA

Pendahuluan
Upaya pendanaan pendidikan dasar dilihat sebagai masalah utama dan sangat strategis dikarenakan lebih dari 70 % tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD).Ditinjau dari segi Ekonomi, pendidikan SD merupakan salah satu sasaran untuk meningkatkan kualitas SDM yang dapat memberikan nilai tambah untuk pertumbuhan ekonomi. Semakin baik pendidikan seseorang, maka semakin besar peluang untuk lebih mampu dalam meningkatkan penghasilannya, artinya beneit yang diperoleh berbanding lurus antara tingkat pendidikan dengan manfaat/kualitas kehidupannya.
Konsep biaya pendidikan akan mempunyai makna jika dihubungkan dengan efisisensi, baik secara eksternal maupun secara internal.Efisiensi eksternal dengan tingkat balik (Rate of Return) ekonomi dari investasi pendidikan dalam SDM yang digambarkan dalam profil upah tenaga kerja terdidik dibandingkan dengan biaya input pendidikan.Sedangkan efisiensi internal dikaitkan dengan efektifitasnya dalam mendukung hasil-hasil belajar.Efisiensi internal sangat tergantung pada faktor institusional dan faktor managerial pengelola pendidikan.
Perlu dikemukakan bahwa keuntungan pendidikan tidak selalu dapat diukur dengan standar nilai ekonomi dan uang.Hal ini disebabkan manfaat pendidikan disamping memiliki nilai ekonomi atau pendapatan seseorang dari produktifitas yang dimilikinya, memerlukan asumsi-asumsi bahwa produktifitas seseorang dianggap merupakan fungsi dari keahlian dan ketrampilan yang diperoleh dari biaya pendidikan.Ukuran hasil pendidikan kita gabungkan dengan data biaya pendidikan dapat menjadi ukuran efisiensi eksternal.Ada 4 indikator dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan yaitu :
1. Dapat tidaknya seseorang lulusan melanjutkan pendidikan ke pendidikan yang lebih tinggi
2. Dapat tidaknya memperoleh pekerjaan
3. Besarnya penghasilan (gaji) yang diterima
4. Sikap prilaku dalam konteks sosial, budaya dan politik
Tingkat pendidikan yang dienyam oleh seseorang, walaupun banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat non pasar, secara umum dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh perpaduan antara kekuatan permintaan dan penawaran, akan tetapi hampeir keseluruhan jasa dan fasilitas pendidikan diberbagai negara berkembang disediakan oleh pemerintah, maka faktor-faktor penentu dari sisi permintaan terhadap pendidikan menjadi jauh lebih penting dari pada faktor-faktor penentu disisi penawarannya.Dari sisi permintaan, ada dua hal yang paling berpengaruh terhadap jumlah atau tingkat pendidikan yang diinginkan,yakni: (1) harapan bagi seseorang siswa yang lebih terdidik untuk mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik pada sektor modern dimasa yang akan datang (hal ini merupakan manfaat pendidikan individual) bagi siswa dan atau keluarganya; serta (2) biaya-biaya pendidikan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, yang harus dikeluarkan atau ditanggung oleh siswa dan atau keluarganya.Dari uraian tersebut sebenarnya permintaan terhadap pendidikan merupakan sutau “permintaan tidak langsung” atau derived demand, yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi disektor modern.Hal ini sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang.Bagi masyarakat dinegara-negara berkembang (terutama golongan miskin), mereka menginginkan pendidikan bukan karena alasan-alasan atau manfaatnya yang bersifat non ekonomis (reputasi,gengsi) melainkan hanya sebagai suatu wahana dalam rangka mengamankan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan disektor modern.Manfaat-manfaat pendidikan tidak langsung inilah yang pada akhirnya akan dipertimbangkan berikut biaya-biayanya.
Pada sisi penawaran , jumlah sekolah ditingkat sekolah dasar lebih banyak ditentukan oleh proses politik, yang sering tidak ada kaitannya dengan kriteria ekonomi.Karena semakin besar dan kuatnya tekanan-tekanan politik yang ditanggung pemerintah Negara-negara berkembang untuk menyediakan sekolah yang lebih banyak,

B. Permasalahan
1. Bagaimana sebaiknya pemerintah pusat/daerah dalam mendisain pendanaan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar
2. Siapakah yang lebih berperan utama dalam pembiayaan pendidikan
3. Apakah kendala utama pendanaan pendidikan

C. Review Singkat Literatur
1. Disain Pendanaan Pendidikan
Menurut Nanang Fattah dalam bukunya Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan,2006 Pendanaan mempunyai fungsi manajemen, baik dalam perencanaan maupun pengawasan.Untuk ini, ketepatan disain pendanaan menjadi sangat menentukan.Alasannya, tidak semua pendanaan dirancang untuk melakukan fungsi manajemen.Karena itu, dibawah ini disajikan beberapa bentuk disain pendanaan sebagai berikut :
a. Line Item Budget
Anggaran butir-perbutir merupakan bentuk pendanaan yang paling simpel dan banyak digunakan.Dalam bentuk ini, setiap pengeluaran dikelompokkan berdasarkan kategori-kategori misalnya gaji, upah, honor menjadi satu kategori atau satu butir, dan perlengkapan, sarana, material dengan butir tersendiri.
b. Program Budget Sytem
Bentuk ini dirancang untuk mengidentifikasi biaya setiap program.Pada anggaran biaya per butir dihitung berdasar jenis butir (item) yang akan dibeli, sedangklan pada anggaran program biaya dihitung berdasar jenis program.Misalnya, jika dalam anggaran butir-perbutir disebut gaji guru (item 01), sedangkan dalam anggaran laporan disebut gaji untuk perencanaan pengajaran IPA hanyalah salah satu komponen, dan komponen lain yang termasuk program percobaan mencakup alat-alat IPA, bahan-bahan Kimia, IPA dan sebagainya, menjadi satu paket.
c. Performance Budget
Sesuai dengan namanya, bentuk anggaran ini menekankan hasil (performance) dan bukan pada keterperincian dari suatu alokasi anggaran.Pekerjaan akhir dalam suatu program dipecah dalam bentuk beban kerja dan unit hasil yang dapat diukur.Hasil pengukurannya dipergunakan untuk menghitung masukan dana dan tenaga yang dipergunakan untuk mencapai suatu program.
d. Planing Programming Budgeting System
Ini merupakan kerangka kerja dalam perencanaan dengan mengorganisasikan informasi dan menganalisinya secara sistematis.Tiap-tiap tujuan suatu program dinyatakan dengan jelas, baik jangka pendek maupun jangka panjang.Dalam proses ini data tentang biaya, keuntungan, kelayakan suatu program disajikan secara lengkap sehingga`pengambil keputusan dapat menentukan pilihan program yang dianggap paling menguntungkan
2. Biaya Pendidikan
Biaya pendidikan ditingkat sekolah berasal dari tiga sumber yaitu ; pemerintah, keluarga siswa dan masyarakat.Selama ini kita hanya fokus pada dana yang dikeluarkan pemerintah dan mengabaikan pengeluaran oleh keluarga siswa dan masyarakat, seolah-olah tidak sepenting dana pemerintah dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan disekolah.Dedi Supriadi (2006)
Pendekatan yang berbasis dana pemerintah mengandung kelemahan untuk memprediksikan jumlah biaya sebenarnya yang digunakan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, karena mengabaikan kontribusi orang tua siswa untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.Perubahan kebijakan pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan akan berpengaruh nyata terhadap pengeluaran yang ditanggung oleh orang tua siswa dan masyarakat.Mark Bary (1996) dalam Supriadi (2006)
Komponen-komponen pembiayaan yang ditanggung oleh keluarga siswa diantaranya ; pembelian seragam sekolah, buku, kegiatan ekstra kurikuler, transportasi, uang jajan dan sebagainya, yang mana terjadi keberagaman nominal bagi setiap siswa tergantung kondisi sosial ekonomi orang tua siswa tersebut.
Studi Bank dunia (1993) mengungkapkan bahwa kontribusi masyarakat terhadap pendidikan berkorelasi dengan status sosial ekonomi masyarakat.Besaran penerimaan biaya pendidikan yang bersumber dari masyarakat/orang tua siswa mencerminkan kemampuan ekonomi masyarakat.Artinya, biaya merupakan fungsi dari struktur ekonomi masyarakat di suatu daerah.
3. Kemiskinan, Ketimpangan dan Pembangunan
Kita menyaksikan bahwa kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di Negara-negara berkembang,meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang signifikan selama lebih dari separuh abad terakhir. (2004) Todaro & Smith. Lebih dari 1,2 Milyar hidup dengan paritas daya beli kurang dari $1 perhari, dan lebih dari 2,8 Milyar kurang dari $2 per hari. Banyak diantara mereka itu yang sedikit melek huruf dan bahkan buta huruf.
Terdapat pendapat dikalanagan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan.Pendapat yang mengatakan bahwa konsentrasi penuh untuk mengurangi kemiskinan akan memperlambat tingkat pertumbuhan sebanding dengan argumen yang menyatakan bahwa derajat ketimpangan yang rendah akan mengalami tingkat pertumbuhan yang lambat.
Paling tidak terdapat lima alasan mengapa kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan.
a. Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, ini menyebabkan pertumbuhan per-kapita lebih kecil daripada jika distribusi pendapatan lebih merata.
b. Kaum kaya di negara miskin tidak memiliki hasrat untuk menginvestasikan kapitalnya didalam perekonomian negara mereka sendiri, ini berbeda dengan negara maju yang dahulunya kaum kayanya berinvestasi untuk memperkuat perekonomian negara mereka
c. Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah dapat menurunkan produktifitas ekonomi mereka
d. Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, sementara golongan kaya mengkonsumsi barang mewah impor
e. Penurunan kemiskinan secara masal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologis yang kuat bagi meluasnya partisipasi publik didalam proses pembangunan.Sebaliknya lebarnya kesenjangan pendapatan dan besarnya kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong negatif materi dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi
Oleh karena itu bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan.
Kasus Cina yang dipublikasikan Bank Dunia menyebutkan pengurangan dramatis dalam kemiskinan dari 303,4 juta menjadi 213,2 juta pada tahun 1987 – 1998 saja, hal ini terjadi karena pertumbuhan yang tinggi dan kerjasama cina dengan bank dunia untuk memperbaiki program pengurangan kemiskinan dan melaksanakan upaya jangka panjang untuk menyediakan paling tidak pendidikan dasar.
Pembahasan
1.Bagaimana seharusnya pemerintah mendisain Pendanaan Pendidikan
a. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif.Setiap kebijakan nasional yang mencoba memperbaiki standar hidup 40 % penduduknya yang paling miskin harus didukung oleh sumber-sumber finansial yang memadai agar setiap rencana pemerataan diatas kertas bisa diwujudkan menjadi program-program nyata pembiayaan pendidikan
b. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa pendidikan.Pembayaran Public yang dibiayai oleh pajak bagi kelompok penduduk miskin merupakan instrumen lain yang cukup berpotensi untuk mengentaskan kemiskinan, contohnya dana BOS, namun program ini harus dirancang dengan cermat.
c. Adanya serangkaian kebijakan yang dirancang untuk menghasilkan berbagai perubahan struktural dalam distribusi aset, kekuasaan dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) bagi orang tua siswa atau seluruh masyarakat.Maka kesempatan untuk memperbaiki taraf hidupnya secara signifikan akan berdampak terhadap expenditure dibidang pendidikan anaknya.
d. Disain pendanaan pendidikan perlu diarahkan pada hal-hal pokok seperti ;kesempatan memasuki sekolah,kesempatan untuk bertahan disekolah,kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar dan kesempatan untuk menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat.
e. Alokasi anggaran lebih diprioritaskan untuk berbagai penyuluhan yang berlangsung menyentuh kebutuhan PBM, sementara pembangunan fisik gedung atau infrastruktur selama masa transisi sampai terjadi keseimbangan biaya pendidikan dapat ditangguhkan.Dengan demikian,efisiensi biaya pendidikan akan ditentukan oleh ketepatan di dalam mendayagunakan anggaran pengeluran pendidikan dan memberikan prioritas bagi faktor-faktor yang benar-benar menyentuh kebutuhan pembiayaan pendidikan.
f. Pendanaan pendidikan disamping dianggarkan pada DAU dari APBN, sebaiknya juga dianggarkan pada DAK dari APBD.Ini dikarenakan kesanggupan APBN masih belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang cukup besar.
g. Alokasi anggaran untuk gaji/kesejahteraan guru dan PBM perlu mendapat prioritas, karena kedua komponen tersebut sangat penting untuk kualitas pendidikan
h. Rencana anggaran 20% pendidikan dari APBN dan APBD harus difokuskan kepada pembiayaan peserta didik, tidak dipakai untuk gaji guru dan investasi gedung sekolah. Kesiapan SDM untuk pengelolaan anggaran 20% baik di Depdiknas, Dinas pendidikan Provinsi, dinas kab./kota, serta para pimpinan sekolah, dan para ketua yayasan. Semua pihak ini harus menyamakan persepsi bahwa dana tersebut memang untuk pembiayaan peserta didik agar bisa maju dan berkembang.
i. Penyaluran block grant maupun BOS harus diiringi ilmu manajerial bagaimana cara mengelola supaya uang tersebut tepat sasaran tepat program tepat penggunaan sesuai dengan keinginan dari filosopi anggaran tersebut. Dinas Pendidikan dan unsur yang terkait seyogyanya mengadakan pelatihan cara penggunaan dan pelaporan penggunaan uang baik block grant maupun BOS kepada calon penerima bantuan tersebut. Dana BOS dan bantuan sejenisnya harus dihindarkan dari Aid Failure (kegagalan bantuan) dengan perencanaan yang cermat.
2.Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Pendanaan Pendidikan
Studi Bank Dunia (1997) memperkirakan bahwa jumlah total sumbangan keluarga pada tahun 1992 sebesar Rp.4,9 Trilyun kemudian pada tahun 1995 meningkat Rp.6,5 Trilyun.ADB (1998:3) dalam Supriadi hal 33 pada tahun 1995 – 1996 total biaya sebesar Rp.21,6 Trilyun, sebanyak Rp.12 Trilyun dari pemerintah dan Rp.10 Triyun dari masyarakat/orang tua siswa.Ini menunjukan besarnya peranan keluarga.Namun jika dihitung lebih cermat lagi, jumlah sumbangan masyarakat bisa lebih besar dari itu manakala semua jenis pengeluaran dihitung.
Selanjutnya temuan penting dari studi Supriadi meyebutkan peranan keluarga dalam pendanaan pendidikan, sumbangan keluarga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subsidi pemerintah, yakni 68 % dari keluarga pada tingkat Sekolah Dasar dari rata-rata biaya pendidikan sebesar Rp.1.324.465 pertahun.
Hasil Studi yang mewakili keadaan ril ditingkat Sekolah Dasar mempunyai implikasi yang luas terhadap kebijakan pembiayaan pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah. Selanjutnya hasil penelitian Luqman Hakim menunjukan bahwa secara umum outcome BOS sudah baik, akan tetapi untuk partisipasi masarakat ada kecendrungan makin menurun. Ini terjadi karena para pembuat kebijakan di hadapkan pada persoalan untuk menuntaskan wajib belajar tetapi disisi lain tuntutan mutu pendidikan harus ditingkatkan dan ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Upaya perbaikan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan program BOS sangat diperlukan oleh para pembuat kebijakan guna lebih sempurnaya program ini.
3.Kendala dalam Pendanaan Pendidikan
Harus diakui, faktor biaya selama ini merupakan kendala utama bagi anak-anak kurang mampu untuk meneruskan pendidikan. Krisis yang terjadi secara mendadak antara tahun 1997 dan 1998 membuat kondisi orang yang hidup dibawah garis kemiskinan semakin bertambah dari 18% menjadi 24% persen dari jumlah penduduk Indonesia ( BPS, Bappenas dan UNDP, 2001). Tidak setiap anak usia sekolah bisa mengikuti pendidikan yang baik, meskipun otaknya mungkin cemerlang. Tingkat pendidikan yang rendah bagi kebanyakan anak usia sekolah menyebabkan mereka menjadi SDM yang kurang mampu bersaing. (Info Dikdasmen volume 4, No 1, November 2005).
Faktor penyelenggaraan pendidikan yang kurang terbuka dan merata.Pada umumnya masyarakat pedalaman mereka kurang faham bagaimana cara menyekolahkan anak-anak mereka apalagi yang selalu terbesit adalah mahalnya pendidikan . Mereka tidak faham bahwa ada bantuan dana pendidikan untuk anak-anak kurang mampu. Umumnya para orangtua ingin menyekolahkan anaknya tapi mereka tidak mendapat informasi bagaimana caranya untuk dapat mamasukkan anak mereka kesekolah dengan biaya pendidikan yang rendah. Banyak anak di daerah pedalaman yang tidak dapat mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah perlu mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembaha-ruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sehingga penyelenggaraan pendidikan makin terbuka dan merata. Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbarui visi, misi dan strategi pembangunan nasional (undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003).
Masalah ketidak mampuan orang tua siswa untuk pembiayaan pendidikan anaknya karena tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.Jika pembiayaan pendidikan diharapkan lebih besar porsinya dari orang tua siswa atau masyarakat maka pemerintah berkewajiban membuka peluang-peluang akses perekonomian masyarakat dapat tumbuh dengan menciptakan iklim yang kondusif untuk berusaha. Dalam konteks ini, stabilisasi ekonomi lebih diarahkan pada usaha untuk membuat masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan produktif. Pendekatan yang hanya berkonsentrasi pada ‘pengetatan’ saja tentu saja tidak mungkin memecahkan masalah kemiskinan. Negara harus memperhatikan sektor produktif mana yang memang kuat. Sektor informal yang menjadi elemen penting ekonomi kecil dan menengah terbukti mampu menahan angka kemiskinan.
Model pertumbuhan ekonomi pembangunan berkelanjutan dengan sendirinya memberi peluang orang tua siswa untuk memiliki pilihan-pilihan untuk pendidikan anaknya.
Dengan demikian, jelas salah satu akar masalah pendidikan kita adalah pembiayaan. Karena itu, tanpa peningkatan pembiayaan dari pemerintah, maka jelas pendidikan kita sangat sulit untuk bisa keluar dari krisis. Memang UUD 1945 (setelah amandemen) menetapkan, anggaran pendidikan 20 persen, yang dipikul pemerintah pusat dan daerah. Tetapi, kita semua mengetahui, tetap belum terjadi peningkatan yang betul-betul signifikan dalam anggaran pendidikan.
Jelas pula, pemerintah baik pusat maupun daerah tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas pendanaan pendidikan, misalnya, dengan mengharapkan agar masyarakat memberikan sumbangan lebih besar lagi bagi pembiayaan pendidikan kita. Dengan kondisi ekonomi yang masih berat di berbagai daerah, sulit diharapkan masyarakat dapat memberikan partisipasi lebih besar.

Kondisi Kabupaten Agam
Pada tabel dibawah ini dapat kita perhatikan keadaan penduduk, usia pendidikan dasar dan kondisi pendidikan tertinggi orang tua siswa Kepala Keluarga miskin :

Tabel 1.Komposisi penduduk usia pendidikan dasar dan pencapaian APM/APK
Penduduk
Data Siswa SD/MI 1)
Jumlah Siswa SMP/MTs 2)
APM SD/MI
APK SMP/MTs
TARGET NASIONAL
7-12 tahun
13 - 15 tahun
7-12 tahun
Siswa SD/MI
APM SD/MI
APK SMP/MTs
50,578
28,761
47,296
63,788
26,106
93.51
90.77
95.00
98.00
Sumber :Dinas Pendidikan Kab.Agam
Tabel.2 Jumlah KK Miskin



Jlh. Pddk
Jlh.KK
Jlh.KK


Miskin
435,939
96,689
22,941



Sumber : Camat Malalak
















Tidak/ Belum
Tidak Tamat
Tamat
Tidak Tamat
Tamat
Tidak Tamat
Tamat
Tidak Tamat
Tamat
Total
Pernah Sekolah
SD
SD
SLTP
SLTP
SLTA
SLTA
D3
D3

19,099
35,211
22,580
2,956
9,429
1,430
6,512
213
259
96,689
Tabel.3 Pendidikan Tertinggi KK Miskin
Sumber : Camat Malalak

Data tersebut diatas memperlihatkan kepada kita dari jumlah penduduk Kabupaten Agam sebanyak 435.939 orang yang terdiri dari 96.689 kepala keluarga, jika dirata-ratakan setiap keluraga memiliki anggota keluarga 4 atau 5 orang, dan lebih kurang 6 % dari jumlah penduduk adalah usia sekolah pendidikan dasar.Kita asumsikan setiap Kepala Keluarga memiliki 1 orang anak yang beruasia pendidikan dasar,selajutnya dari 96.689 Kepala keluarga tersebut data menyajikan 22.941 berada pada kondisi miskin.Artinya terdapat 22.941 anak yang mengalami kesulitan pendanaan pendidikan oleh orang tuanya.
Selanjutnya kita coba menelusuri penyebab kenapa miskin,sesuai dengan teori diatas bahwasannya tingkat pendidikan berkorelasi terhadap kemampuan memperoeleh pekerjaan disektor modern.Jika data menyajikan masih terdapat 35.211 penduduk keseluruhan tidak tamat SD dan 22.580 hanya tamat SD, agaknya sudah bisa menjawab kenapa mereka miskin yang 22.941 kepala keluarga tersebut.
Agaknya salah satu generalisasi yang terbilang paling valid mengenai penduduk miskin adalah bahwasannya mereka pada umumnya bertempat tinggal didaerah-daerah pedesaan dengan mata pencaharian pokok dibidang-bidang pertanian dengan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional, telah diketahui sejak lama bahwa duapertiga penduduk miskin menggantungkan hidup mereka dari pola pertanian yang subsisten, baik sebagai petani kecil atau buruh tani yang berpenghasilan rendah, dan sepertiga lainnya mereke mengandalkan hidupnya dari usaha-usaha jasa kecil-kecilan, dan sebagian lagi bertempat tinggal didaerah-daerah sekitar atau pinggiran kota, atau kampung-kampung diperkotaan dengan pencaharian sektor marginal.Kita butuh studi lebih lanjut apakah ini yang menyebabkan APM/APK Pendidikan dasar di Kabupaten Agam masih dibawah target Nasional (95 % dan 98 %) yakni hanya mencapai 93,51 % SD dan 90,77 % SMP
Menurut Todaro (2004) hampir 80 % kondisi tersebut berlaku dinegara-negara berkembang Asia. Untuk kondisi Agam diatas kiranya disain pendanaan pendidikan, atau bagaimana seharusnya pemerintah seperti yang telah diuraikan diatas mesti diterapkan untuk pembiayaan pendidikan anak-anak yang kebetulan orang tuanya berada pada tabel KK miskin tersebut dan kebijakan-kebijakan agar anak-anak pada KK miskin tersebut keluar dari tabel KK Miskin jika dewasanya nanti dengan mengantarkan mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, agar mereka memperoleh kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.Jangka panjang diharapkan penurunan jumlah KK Miskin bisa diwujudkan dengan memutus rantai kemiskinan yang tentunya kita jawab dengan Pendidikan berkualitas.

Kesimpulan
Peningkatan anggaran pendidikan SD hendaknya menjadi prioritas, karena pendidikan dasar merupakan kebutuhan setiap warga negara. Perlunya meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, bagi semua anak usia 7-15 tahun dengan mengutamakan anak Usia 12-15 di daerah miskin, terpencil , dan terisolasi
Upaya untuk mengefisiensikan dalam pemanfaatan dana pendidikan SD, menuntut perhatian serius, seperti halnya dana BOS ,peningkatan managerial kepala sekolah untuk menggali sumber dana, menganggarkan dan mengalokasikan dana secara tepat.
Peranan pemerintah dalam pendananaan pendidikan maupun masyarakat dirasakan relatif masih rendah, karena kondisi perekonomian baik pemerintah maupun sebahagian masyarakat masih rendah seperti yang diungkapkan Todaro.
Akhirnya key word yang tepat dalam pendanaan pendidikan pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia adalah Efisiensi penggunaan sumber dana yang terbatas baik pemerintah maupun masyarakat.






Word Count 3000
Bacaan :
Azra, Azyumardi (2005)Krisis Pendidikan, Republika Online
http://www.republika.co.id/htm
Fattah, Nanang (2006) Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan,Bandung : Remaja Rosda
Karya
Hakim, Luqman (2007) Analisis Pemantauan Outcome Program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) Di Madrasah Tsanawiyah Gresik,Abstrak, Program Studi
Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan. Universitas
Muhammadiyah Malang.
Supriadi, Dedi (2006) Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah,Bandung : Remaja
Rosda Karya
Todaro,Michael P & Smith Stephen C (2004) Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,
Jakarta : Erlangga
World Bank (2007).Indonesia :Public Expenditure,prices, and the poor,Washington
[On-Line].http://www.worldbank.org/publication