Rabu, 31 Oktober 2007

Artikel

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN UNTUK KUALITAS DAN PEMERATAAN
A. Pendahuluan
Menjelang tahun ajaran baru Kantor Pegadaian banyak didatangi orang. Banyak kita lihat ibu-ibu rumah tangga mendatangi Kantor Pegadaian sambil membawa beberapa lembar kain yang dimilikinya. Satu lembar kain dihargai Rp 5.000. Jika mereka membawa sepuluh lembar kain, uang Rp 50.000 sudah ditangan. Ada juga yang membawa panci/rantang untuk digadaikan. Harga barang yang terakhir ini sedikit lebih mahal dibandingkan selembar kain. Uang hasil menggadaikan barang itu akan digunakan sebagai tambahan modal untuk mendaftarkan anak-anak mereka masuk ke sekolah. Sedikit memang hasil yang didapat namun bagi mereka ini cukup berarti daripada tidak ada tambahan dana sama sekali.
Dalam hiruk pikuknya kampanye Pemilu 2004, baik legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, ternyata pendidikan menjadi komoditas kampanye yang paling banyak ditampilkan. Para kontestan pemilu, baik calonnya langsung ataupun melalui juru kampanyenya, dengan fasih menyampaikan visi dan misinya melalui pendidikan. Tidak tanggung-tanggung ada yang menjanjikan "pendidikan gratis", "bebas SPP", "menaikkan gaji guru", "menaikkan anggaran pendidikan", "memberikan beasiswa" dan janji-janji lainnya mengenai pendidikan untuk menarik para pemilih.
Dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan nasional yang dirumuskan oleh para pendiri negeri ini adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". Makna fundamental yang terkandung dalam pesan tersebut ialah bahwa kekuatan dan kemajuan suatu bangsa terletak dalam kualitas sumber daya manusianya. Kata kunci pengembangan sumber daya manusia ialah "pendidikan" bagi seluruh warga negara yang berlangsung sepanjang hayat sejak dari dalam keluarga, di sekolah, dan di dalam kehidupan secara keseluruhan.
B. Permasalahan
1. Biaya Pendidikan
Perihal pendanaan pendidikan masih menjadi akar dari tidak tuntasnya problem pendidikan di Indonesia. Masih banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa sekolah, atau harus putus sekolah, hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah. Beragam usaha pun dilakukan untuk meminimalkan angka putus sekolah ini. Di beberapa daerah, sudah muncul inisiatif dari pemerintah daerah untuk menekan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di sekolah-sekolah negeri menjadi serendah mungkin, bahkan ada yang menggratiskan SPP untuk sekolah negeri.Kebijakan menggratiskan SPP bisa dilihat sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap pentingnya akses atas pendidikan. Namun rupanya kebijakan macam ini masih belum menyentuh pada akar masalah kesulitan pendanaan pendidikan keluarga miskin, apalagi menyelesaikan masalah. Di Jakarta, meskipun sebagian besar warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan pemerintah daerah yang menggratiskan SPP namun mereka masih khawatir tidak bisa membiayai sekolah anak-anak mereka (Kompas, 13/6).
Kebijakan menggratiskan SPP memang cukup efisien bagi pemerintah dan kepala daerah untuk menarik perhatian publik sekaligus mendongkrak citra dan popularitasnya. Akan tetapi, SPP bukanlah komponen utama (dan terbesar) ketika berbicara tentang biaya pendidikan. Ada komponen biaya pendidikan lainnya yang menghantui warga masyarakat. Ironisnya biaya pendidikan yang menghantui ini muncul akibat kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri.Tentang buku pelajaran, misalnya. Sekarang bukan jamannya kakak kelas bisa mewariskan buku pada adik kelasnya. Mulai tahun ajaran 2007/2008 nanti kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sudah berganti dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Artinya, buku pelajaran yang digunakan pun harus ganti. Buku yang dipakai tahun ini tidak bisa dipakai untuk tahun berikutnya. Kondisi semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Hampir setiap tahun buku pelajaran harus ganti seiring dengan berubahnya kurikulum yang diberlakukan pemerintah. Meskipun kurikulum tidak berganti, namun buku pelajaran harus direvisi untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kesesuaian dengan kurikulum yang berlaku. Setelah beberapa tahun berjalan, ketika buku sudah sesuai dengan kurikulum, pemerintah pun membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum. Logika buku pun tak kalah dengan prinsip yang dipakai oleh produk-produk instan, “sekali pakai langsung buang”. Pergantian kurikulum memang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita, namun pemerintah seperti tidak pernah jera melihat efek domino dari pergantian kurikulum itu.
Hal ini dilihat sebagai peluang proyek bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari siswa. Tak jarang pihak sekolah pun terlibat dalam proyek pengadaan buku dengan mewajibkan siswanya untuk membeli buku pelajaran melalui sekolah. Namun pengadaan buku kolektif oleh pihak sekolah pun tidak membuat harga buku menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga di toko buku. Tak jarang, harga buku yang ditawarkan sekolah jauh di atas harga ‘normal’.
Lalu, siapa yang bisa membeli buku? Ya, tentu saja, anak yang berasal dari keluarga mampu, sementara anak-anak dari keluarga miskin hanya bisa gigit jari. Buku sebagai gudang ilmu pun semakin jauh dari kelompok yang terakhir, pengetahuan pun semakin sulit terjangkau.
Kebijakan lain yang juga berdampak pada masalah membengkaknya dana pendidikan adalah ujian nasional. Sistem ujian nasional telah mendorong para siswa, guru dan orangtua untuk terikat dengan layanan jasa yang ditawarkan lembaga bimbingan belajar (LBB). Peran guru sebagai pendidik pun digantikan oleh para tentor dari LBB. Siswa dilatih agar terampil mengerjakan soal secara benar, tanpa perlu mengetahui substansi dari mata ajar yang dikerjakan.
Akibatnya, bisa jadi siswa yang memiliki cukup uang dan bisa ikut LBB akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk lulus ujian nasional karena mereka bisa menjawab soal-soal ujian nasional secara lebih cepat dan tepat. Nasib kurang beruntung dialami siswa dari keluarga pas-pasan yang tidak memiliki kelebihan uang untuk menyertakan anaknya di LBB. Akibatnya, semakin sedikit dari kelompok ini yang menjadi terampil dalam mengerjakan soal-soal ujian nasional. Kesempatan untuk lulus pun semakin jauh.
Salah satu tujuan pendidikan adalah kesempatan untuk menaikkan status sosial keluarga miskin. Akan tetapi dari fakta kebijakan pendidikan yang ada justru mengarah pada hal yang sebaliknya. Sekolah sebagai sarana meningkatkan martabat keluarga miskin hanyalah mitos belaka. Sekolah telah menjadi sarana utama untuk menghisap modal-modal ekonomi masyarakat, berlaku juga bagi keluarga miskin. Maka benarlah yang ditulis sosiolog Prancis Pierre Bourdieu, sekolah pun hanya berfungsi untuk mereproduksi perbedaan dalam masyarakat (distinction).
Pendidikan yang berkualitas butuh biaya yang tidak murah. Kondisi ekonomi keluarga memang kerap tidak bersahabat bagi anak-anak dari keluarga miskin yang ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Pertanyaannya, apakah biaya pendidikan itu harus ditanggung sendiri oleh anak-anak dari keluarga miskin? Tak bisakah pemerintah membuat kebijakan yang memang memperhatikan kepentingan anak-anak ini.
2. Satuan Biaya Pendidikan
Menurut perkiraan Depdiknas, untuk terwujudnya pendidikan bermutu, satuan biaya per tahun per siswa ialah Rp 13.446.500 untuk SD, Rp 27.436.500 untuk SMP, Rp 35. 522.690 untuk SMA dan SMK sekitar 40 juta. Dengan demikian jelas bahwa biaya pendidikan itu sangat besar atau tidak mungkin murah apalagi gratis terutama bagi kalangan tidak mampu.
Penelitian Fattah (2000), Supriadi (2001), mengungkap, sebagian besar sumber pembiayaan pendidikan dasar masih bertumpu pada sumber pendanaan dari masyarakat dan anggaran pemerintah, tetapi proporsinya masih lebih banyak ditanggung masyarakat. Hasil penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Depdiknas (2004) menemukan, besaran biaya satuan pendidikan keseluruhan di SD sebagian besar (73,53%) menjadi beban orang tua. Demikian pula biaya satuan pendidikan keseluruhan di SMP, 70,88% masih menjadi tanggungan orang tua siswa. Sementara persentase yang ditanggung pemerintah lebih kecil. Tingginya biaya pendidikan yang ditanggung orang tua disebabkan banyaknya komponen biaya pendidikan yang menjadi beban orang tua, seperti biaya transportasi bagi siswa, biaya pembelian seragam, dll. Alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk komponen biaya penunjang, yang menyangkut penyediaan sarana dan prasarana, seperti gaji guru, pengembangan fisik sekolah, pengadaan buku pelajaran, dan lain-lain.
Masalahnya ialah siapa yang membiayai pendidikan dalam kenyataan bahwa sebagian besar warga negara dalam kondisi kurang mampu secara ekonomis. Bagi mereka, pendidikan dirasakan sangat mahal karena berada di luar jangkauan kemampuan ekonominya. Dalam situasi seperti ini, sebutan yang lebih tepat adalah bukan "pendidikan murah" tetapi "pendidikan yang terjangkau" sesuai dengan kondisi ekonomi masing-masing pengguna jasa pendidikan yaitu peserta didik, orang tua, dan masyarakat pada umumnya.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana agar pendidikan dapat terjangkau oleh semua pengguna jasa tersebut? Di sinilah letak permasalahannya di satu pihak pendidikan bermutu memerlukan biaya yang besar, tetapi di pihak lain rendahnya kemampuan orang tua dan masyarakat untuk membayar biaya pendidikan itu.
3. Kesenjangan pendidikan
Pemerataan pendidikan berkualitas masih digayuti halangan. Kesenjangan status sekolah antara penduduk di pedesaan dan perkotaan adalah salah satu indikasi tidak meratanya akses pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2004, dari seluruh penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan, sekitar 11 persen penduduknya tidak atau belum pernah sekolah. Sementara penduduk di perkotaan "hanya" 4,5 persen yang tidak atau belum pernah sekolah. Dari angka itu, bisa dikatakan terjadi kesenjangan yang cukup signifikan antara jumlah penduduk terdidik di kota dan desa.
Status pendidikan penduduk di dua pembagian wilayah di atas kemudian bisa dikaitkan dengan besar pengeluaran rumah tangga mereka per bulan. Mayoritas penduduk di desa memiliki besaran pengeluaran Rp 100.000 hingga Rp 149.000 sebulan. Sementara penduduk di kota lebih besar pengeluarannya, yaitu pada rentang Rp 200.000 hingga Rp 299.000. Ada dua hal yang dapat melatarbelakangi lebih besarnya pengeluaran rumah tangga per bulan orang kota dibandingkan dengan orang desa. Yang pertama, biaya hidup di kota lebih tinggi sehingga pengeluaran pun lebih besar. Yang kedua, penghasilan penduduk perkotaan memang lebih besar. Apa pun penyebabnya, ketimpangan ini secara tidak langsung berefek pada kesempatan mereka mencicipi pendidikan.
Dengan jumlah pengeluaran yang lebih besar, otomatis penduduk yang tinggal di kota mengalokasikan dana lebih besar pula untuk pendidikan. Jika orang kota menghabiskan 4,27 persen dari pengeluaran per kapita dalam sebulan untuk pendidikan, orang desa hanya 2,27 persen dari konsumsi bulanannya. Perbedaan ini menimbulkan dua asumsi. Pertama, dibandingkan dengan penduduk di perkotaan, orang desa belum terlalu memprioritaskan pendidikan sehingga porsi pengeluaran per bulan untuknya pun lebih kecil. Kedua, biaya pendidikan di perkotaan memang jauh lebih mahal sehingga menyedot lebih banyak pengeluaran penduduk kota.
Tanpa muluk-muluk bermimpi memperoleh pendidikan bermutu, kenyataannya masih ada sejumlah penduduk yang bahkan belum pernah merasakan pendidikan. Pada tahun ajaran 2005/2006 tercatat angka partisipasi murni (APM) di tingkat sekolah dasar belum mencapai 100 persen (94 persen). Demikian juga APM di jenjang pendidikan dasar selanjutnya atau di tingkat sekolah menengah pertama baru sekitar 62 persen.
Selain APM, masih adanya penduduk buta aksara di Tanah Air juga menunjukkan akses pendidikan belum merata. Pada tahun 2005 masih ada 9,55 persen penduduk laki dan perempuan yang berstatus buta aksara. Tahun 2006 persentasenya menjadi 8,07 persen dari total penduduk. APM dan angka buta aksara adalah indikator yang cukup berperan dalam melihat ketersediaan akses pendidikan.
4. Distribusi Guru
Guru tersebar dengan sangat tidak merata di Indonesia. Kurang lebih 55 persen dari sekolah memiliki kelebihan guru, sementara 34 persen kekurangan. Sebagian besar sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah pedesaan, mengalami kelebihan jumlah guru, sementara 66 persen sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan tenaga guru yang serius.
5. Kulitas Pendidikan
Dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 13-14 Juni 2007 mengenai persiapan tahun ajaran baru, responden di 10 kota besar di Indonesia menyatakan memprioritaskan kualitas guru dalam memilih sekolah untuk anak- anak mereka. Hal ini tak lepas dari pandangan masyarakat secara umum yang menganggap syarat pendidikan yang berkualitas adalah apabila gurunya juga berkualitas. Dari beberapa alternatif prioritas yang ditanyakan dalam memilih sekolah, sebanyak 33,1 persen responden mengutamakan mutu guru dan sisanya bervariasi antara kurikulum, mutu lulusan, biaya, dan lain-lain.Selain kualitas guru, kepada responden juga ditanyakan pendapat mengenai biaya masuk yang harus dibayarkan orangtua saat mendaftar sekolah untuk anak-anak mereka. Pada responden yang memiliki pengeluaran rumah tangga di atas Rp 3 juta per bulan, mayoritas (40 persen) berpendapat biaya masuk sekolah itu tidak memberatkan. Lain halnya dengan mereka yang memiliki pengeluaran rumah tangga di bawah Rp 1 juta hingga Rp 3 juta sebulan, biaya masuk sekolah dianggap cukup memberatkan, bahkan ada yang mengatakan sangat memberatkan. Padahal, untuk membayar seluruh biaya yang berkaitan dengan kebutuhan sekolah, mayoritas orangtua (80 persen) hanya mengandalkan pendapatan bulanan sebagai satu-satunya sumber dana bagi seluruh kebutuhan. Artinya, mereka tidak berharap memiliki dana talangan di luar pendapatan rutin untuk membayar kebutuhan sekolah anak.
Dari beberapa rekam pendapat di atas, sedikitnya menunjukkan betapa orangtua gamang terhadap kondisi pendidikan saat ini. Keresahan orangtua terhadap beban biaya pendidikan akan sangat sulit apabila disandingkan dengan keinginan untuk memperoleh kualitas pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka.
Karena, seperti yang telah dikatakan, pendidikan berkualitas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, dengan adanya berbagai keluhan tentang biaya pendidikan, dikhawatirkan, bibit-bibit keresahan itu suatu saat akan menjadi bom waktu melonjaknya angka putus sekolah di Indonesia.

6. Investasi Pada Pendidikan
Indonesia menghabiskan 16.5 persen anggarannya untuk pendidikan. Jumlah ini hampir setara baik dengan negara-negara berkembang lainnya, maupun dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development-OECD). Tetapi, tingkat belanja Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, dan sejak tahun 1980-an, Indonesia telah secara komparatif menghabiskan lebih sedikit pada pendidikan, yang menyebabkan pelapukan gedung sekolah dan berkontribusi terhadap hasil belajar siswa yang tetap rendah.
Belanja pendidikan telah meningkat secara pasti dan diharapkan untuk meningkat lebih jauh lagi. Ini adalah salah satu indikasi dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan pelayanan. Belanja publik untuk pendidikan telah meningkat secara pesat, dari 2.5 persen pada PDB tahun 2001 menjadi sekitar 3.5 persen pada 2006. Sebagai hasilnya, belanja pendidikan, sebagai bagian dari total belanja, sekarang sudah berada pada tingkat yang bisa dibandingkan dengan sejumlah negara berpenghasilan menengah, bahkan dengan beberapa negara OECD. Akan tetapi, beberapa negara tetangga (Malaysia, Thailand dan Filipina) cenderung memiliki anggaran pendidikan yang lebih yang lebih tinggi, sampai dengan 28 persen dari anggaran mereka.
Terdapat inkonsistensi struktural dalam komposisi belanja pusat-daerah. Pemerintah daerah menyediakan sebagian besar pendanaan (70 persen) untuk pendidikan, tetapi hampir semuanya dianggarkan untuk gaji guru, walaupun skala gaji ditentukan oleh pemerintah pusat. Di lain pihak, pemerintah pusat mendominasi anggaran investasi, padahal tanggung jawab untuk menjalankan, membangun dan merehabilitasi sekolah, ada di pemerintah daerah.
Menerapkan mandat 20 persen bagi pendidikan dengan definisi yang ada saat ini, dengan mengecualikan pengeluaran untuk gaji guru dari patokan ini, sangat tidak realistis juga problematik. Hampir tidak mungkin untuk mencapai 20 persen, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah, terutama bila pengeluaran gaji tidak dimasukkan. Pemerintah daerah cenderung menghabiskan sebagian besar anggaran pendidikan mereka untuk gaji. Agar bisa mencapai tingkat 20 persen sesuai definisi yang ada, belanja daerah untuk pendidikan harus meningkat dari angka saat ini yaitu 28 persen (dimana sebagian besar dialokasikan untuk gaji), menjadi paling tidak 45 persen. Pemerintah pusat juga harus melipat gandakan tingkat belanja yang ada sekarang, dan membelanjakan kelebihannya untuk belanja non-gaji. Peningkatan sumber daya di tingkat pusat menjadi 20 persen sangat bertentangan dengan logika desentralisasi dengan mendorong lebih banyak belanja pusat untuk sektor-sektor yang didesentralisir. Definisi yang berlaku sekarang juga menciptakan insentif yang buruk dalam menetapkan kelompok gaji tertinggi menjadi belanja tidak lancar.
C. Pembahasan
Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa "setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya". Masih dalam pasal itu juga dinyatakan bahwa pemerintah mengupayakan tersedianya dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak, "mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" dan "mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" (ayat 1 huruf c dan d).
Pasal 40 ayat (1) menyebutkan bahwa, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat". Alokasi dana pendidikan dalam pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas harus diimplementasikan secara nyata dalam keseluruhan kinerja pendidikan nasional. Tidak kalah pentingnya ialah unsur "guru dan tenaga kependidikan lainnya" harus berada dalam posisi sentral dalam pola-pola manajemen pendidikan yang berbasis paradigma pendidikan. Bila hal itu dapat diwujudkan, besar harapan setiap warga negara dapat memperoleh haknya mendapatkan pendidikan dengan biaya terjangkau sesuai dengan kemampuan ekonomis masing-masing. Hal ini mengandung makna bahwa apa yang dijanjikan dalam kampanye dapat dinikmati langsung oleh seluruh rakyat selaku para pemilih dan pemilik. Semoga pemerintahan hasil Pemilu 2004 dapat mewujudkan pendidikan nasional untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai landasan keunggulan bangsa dalam persaingan global.
Pendidikan memang tidak harus mahal, tetapi untuk menghasilkan pendidikan bermutu tinggi pasti butuh ongkos yang tidak murah. Faktor mahalnya biaya untuk mencapai pendidikan yang berkualitas disebabkan kebutuhan akan komponen-komponen pembelajaran yang tentu harus berkualitas.
Pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat harus bertanggung jawab menyediakan dana pendidikan agar mereka yang tidak mampu secara ekonomis memperoleh haknya mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara harus merasakan bahwa pendidikan sebagai hak dan kewajiban dapat mereka peroleh dengan jangkauan biaya yang sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka. Pengalaman empiris telah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang telah menikmati kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya adalah bangsa yang memulai pembangunannya melalui pendidikan meskipun mereka tidak memiliki sumber daya alam. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka dapat menikmati kemakmuran bangsanya. Sebagai contoh adalah negara-negara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Cina, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan sebagainya.
Penyediaan guru yang kompeten ataupun fasilitas pendidikan yang lengkap dan memadai butuh biaya yang tidak sedikit. Meski demikian, tingginya biaya dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu semestinya tidak menjadi kambing hitam dalam permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Di sinilah pemerintah seharusnya berperan dalam menjamin hak seluruh warga dalam mengakses pendidikan karena pendidikan bermutu bukan hanya hak sebagian orang. Konstitusi tertinggi di negeri ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, telah mengamanatkan kepada negara untuk menjamin pendidikan warganya. Bahkan, pendanaan pendidikan dasar sepenuhnya menjadi kewajiban pemerintah. Hal ini tercantum dalam Pasal 31 Ayat 1 dan 2 mengenai hak warga negara memperoleh pendidikan dan pembiayaan pendidikan dasar oleh negara. Pendidikan adalah faktor penting untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Kenyataannya, tidak semua orang dapat memperoleh pendidikan karena mahalnya biaya yang dikeluarkan. Kondisi inilah kemudian mendorong dimasukkannya klausul tentang pendidikan dalam amendemen UUD 1945. Konstitusi mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan biaya pendidikan 20% dari APBN maupun APBD agar masyarakat dapat menikmati pelayanan pendidikan
Akan tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), ketentuan UUD di atas menjadi tidak jelas lagi dengan adanya bunyi Pasal 46 Ayat 1 tentang peran pemerintah dan masyarakat dalam pendanaan pendidikan.
Perluasan kewajiban pendanaan pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah, juga masyarakat, menjadikan Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 mengabur maknanya dan "ambigu".
Peran pemerintah, menurut ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto, yang juga praktisi pendidikan dan pakar di bidang pengembangan kurikulum, mengatakan, pemerintah semestinya benar- benar menjalankan program wajib belajar pendidikan dasar (SD-SMP) bagi seluruh warganya. Wajib belajar di sini artinya, seluruh warga negara tanpa kecuali, yang berada pada usia pendidikan dasar, harus mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Seluruh biaya, termasuk kelengkapan sekolah, pada pendidikan dasar semestinya ditanggung pemerintah. Artinya, peserta belajar hanya tinggal datang ke tempat belajar. Bagi warga yang menolak program ini bisa dikenakan sangsi," katanya.
Ia menambahkan, bila komitmen pemerintah dalam mengalokasikan dana pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sungguh-sungguh dilakukan, tak mustahil program ini akan dapat dijalankan. Saat ini anggaran pendidikan yang ditetapkan pemerintah baru sekitar 10,7 persen dari total APBN 2007.
Pendapat Soedijarto, guru besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, menggambarkan bahwa pendidikan berkualitas seharusnya memang merata dinikmati masyarakat, tanpa kecuali. Status ekonomi mereka seharusnya tidak jadi halangan untuk menikmati pendidikan bermutu. Itu akan terjadi, jika pemerintah benar-benar berkomitmen mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua.Terakhir Jika buta aksara bisa ditiadakan dan pencapaian APM sudah seratus persen, langkah awal mewujudkan pendidikan untuk semua bisa dikatakan tercapai.
Untuk mewujudkan belanja pendidikan yang meningkat menjadi pelayanan yang lebih baik, Indonesia harus mengatasi tiga tantangan utama:
• Meningkatkan komposisi belanja, dalam sektor pendidikan dan antar sektor;
• Membuat belanja pendidikan menjadi lebih adil; dan
• Meningkatkan efisiensi belanja pendidikan.

1. Meningkatkan Komposisi Belanja
Karena angka partisipasi pendidikan dasar hampir mencapai target (94 persen,lihat hal.6), fokus pada jenjang ini harus diarahkan kepada investasi dalam merehabilitasi infrastruktur pendidikan dan meningkatkan kualitas pengajaran. Indonesia hampir mencapai angka partisipasi penuh untuk pendidikan dasar, sehingga pada jenjang sekolah dasar, perhatian utama seharusnya diarahkan pada peningkatan akses untuk daerah terpencil yang sudah ditetapkan. Akan tetapi, angka partisipasi 100 persen pun mungkin tidak bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan dan upaya pemberantasan kemiskinan bila kualitas pendidikan dasarnya buruk. Banyak sekolah dasar tidak memiliki infrastruktur yang memadai maupun guru yang memenuhi persyaratan mengajar minimum. Komposisi belanja diantara program harus disesuaikan agar lebih mendukung perbaikan infrastruktur dan pelatihan guru.
Pengalokasian sumber daya tambahan untuk sekolah menengah pertama sangat diharapkan karena angka partisipasinya masih rendah, terutama pada kuintil termiskin dari seluruh populasi. Alokasi untuk pendidikan menengah pertama hanya 15 persen dari total belanja pendidikan – sama dengan alokasi pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Mengalokasikan sumber daya tambahan pada jenjang pendidikan menengah pertama akan menghasilkan angka pengembalian yang lebih tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding pendidikan dasar. Pemerintah telah menangani kesenjangan investasi pendidikan dasar, dengan tepat, tetapi fokus dikemudian hari harus diarahkan lebih kepada peningkatan kualitas pendidikan dan angka partisipasi pendidikan menengah pertama.

2. Membuat Belanja Pendidikan Lebih Merata
Diskrepansi pada tiap daerah dalam hal akses dan kualitas bisa dikurangi melalui penargetan yang lebih baik. Karena ada perbedaan yang signifikan pada akses dan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah bisa mengalokasikan dana pendidikan untuk menyediakan sumber daya yang cukup bagi kabupaten dan provinsi yang tertinggal agar bisa mengejar ketertinggalan dari daerah lain yang lebih maju. Pemerintah daerah yang lebih miskin cenderung menghabiskan lebih dari 35 persen anggaran mereka untuk sektor pendidikan, tetapi tingkat belanja absolut mereka rendah jika dibandingkan dengan daerah yang lebih kaya. Aliran dana dari pemerintah pusat harus bisa memastikan bahwa anggaran belanja yang dikeluarkan akan menghasilkan askses pelayanan yang lebih adil.
Program Bantuan Operasi Sekolah (BOS) yang baru adalah perkembangan penting di bidang pendanaan pendidikan, dan bisa menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kemampuan, walaupun ada bidang-bidang yang bisa diperbaiki. Dana BOS mewakili 12 persen dari keseluruhan anggaran pendidikan yang disatukan. Tiga hal penting yang harus diperhatikan ketika merancang program serupa, di masa yang akan datang:
Ø Walaupun pengaliran dana langsung ke sekolah mungkin bisa mengatasi kebocoran, tetap diperlukan pemantauan dan penelusuran dana untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan alokasi sumber daya yang salah.
Ø Karena besarnya hibah ditentukan berdasarkan jumlah siswa, sekolah akan memiliki insentif untuk menggelembungkan angka partisipasi bila tidak ada mekanisme kontrol yang diterapkan.
Ø Program ini tidak menmberikan persyaratan mengenai penilaian kinerja atau transparansi anggaran untuk sekolah, sehingga sulit untuk menilai pengaruh program ini terhadap uang sekolah dan kualitas pengajaran. Walaupun sebagian besar penduduk termiskin memiliki akses pendidikan dasar, mereka terhambat pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Indonesia harus berfokus pada perbaikan angka partisipasi, terutama untuk jenjang pendidikan menengah pertama, karena memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan angka partisipasi yang rendah. Angka yang lebih tinggi dari masyarakat miskin yang mendapatkan pendidikan menengah pertama akan menjadi batu loncatan kepada pendidikan yang lebih tinggi. Program yang ditargetkan akan bisa mengatasi hambatan ini dengan dua cara:
Menangani sisi permintaan dengan mengurangi pengeluaran rumah tangga atau memitigasi pendapatan tetap melalui mekanisme seperti misalnya cash transfer.
Menangani sisi pasokan, yakni, potensi kekurangan infrastruktur pendidikan, melalui konversi beberapa sekolah dasar menjadi sekolah menengah pertama, pembangunan sekolah baru, atau keduanya.

3. Meningkatkan Efisiensi Belanja Pendidikan
Guru akan tersebar dengan lebih merata bila formula penempatan yang digunakan untuk mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah. Saat ini, tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid, dengan memberikan kemudahan bagi sekolah yang lebih kecil. Reformasi ini bisa dibarengi dengan memberikan fleksibilitas yang lebihbesar dalam hal kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru. Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan yang baik – yang idealnya dilaksanak oleh masyarakat setempat.

Kelebihan Ketersediaan Tenaga Guru
Formula alokasi yang sekarang mendorong adanya kelebihan guru di banyak sekolah, yang berjumlah 10 persen dari total anggaran pendidikan. Sekolah-sekolah menyerahkan persyaratan pasokan guru mereka ke kantor wilayah, dan wilayah lalu mengajukan permintaan tenaga guru tambahan sesuai jumlah yang diperlukan kepada Depdiknas. Kemudian Depdiknas mengalokasikan guru ke kabupaten dan menyediakan tambahan gaji guru melalui DAU. Dengan sistem ini, sekolah dan kabupaten memiliki insentif yang besar untuk meminta sumber daya lebih banyak (dimana kebanyakan akan menganggur), dan sedikit sekali insentif untuk menggunakan sumber daya guru secara efisien.
Walaupun penerapan kebijakan pengaliran dana yang efektif akan mendistribusi guru secara lebih adil, tantangan terbesar saat ini adalah mengurangi kelebihan ketersediaan tenaga guru. Karena guru adalah pegawai negeri sipil, hanya ada beberapa pilihan untuk mengurangi jumlahnya, selain pensiun atau “pensiun dini”, dan solusi yang terakhir akan sangat mahal dalam jangka pendek. Strategi pendamping yang penting adalah bagaimana mengurangi masuknya calon guru ke institusi pelatihan dan mengorientasikan kembali guru-guru sekolah dasar ke Program Pendidikan Anak Dini Usia (PADU), bidang yang hanya menerima sedikit sekali perhatian saat ini.

Gaji Guru dan Undang-undang Guru yang baru
Gaji guru lebih rendah dari pekerja dan pegawai negeri sipil dengan tingkat pendidikan yang sama dan tidak memberikan kompensasi yang cukup bagi guru sekolah menengah dan guru yang bekerja di daerah terpencil. Walaupun kesenjangan gaji menjadi lebih kecil bila dianalisa dengan menggunakan skema gaji per jam, guru mendapatkan gaji lebih kecil daripada rekan mereka pegawai negeri sipil non guru. Sebagai tambahan, praktik perekrutan guru honorer yang tersebar luas dengan gaji yang ditetapkan di tingkat kabupaten/kota menimbulkan kesenjangan di daerah dalam hal tingkat gaji guru, selain itu juga mempersulit upaya penempatan ulang tenaga guru.
Program sertifikasi guru yang baru, sedikit banyak mengatasi sebagian masalah-masalah ini dengan meningkatkan gaji pokok guru bagi mereka yang memiliki tingkat kualifikasi lebih tinggi, kinerja yang lebih baik dan/atau ditempatkan di daerah terpencil. Akan tetapi, undang-undang guru yang baru akan meningkatkan belanja pendidikan secara substansial, karena pengeluaran yang baru untuk lima tahun kedepan akan kurang lebih dua kali lipat daripada anggaran pendidikan nasional yang sekarang.
Pengeluaran yang besar yang timbul sebagai akibat dari undang-undang baru ini bisa ditutupi sebagian dengan mengurangi kelebihan ketersediaan tenaga guru dan jumlah guru paruh waktu secara bersamaan. Hal tersebut berarti mempersiapkan tenaga guru berijazah secara bertahap selama lima sampai sepuluh tahun kedepan untuk menggantikan sejumlah besar tenaga guru yang akan pensiun di kemudian hari.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam proses keseluruhan pembangunan nasional.
Pendidikan terutama pendidikan bermutu tidak mungkin murah apalagi gratis karena untuk berlangsungnya suatu pendidikan yang berproses secara baik dan menghasilkan keluaran yang bermutu memerlukan dukungan sarana dan biaya yang besar. Jadi pendidikan itu memerlukan biaya yang besar untuk menunjang seluruh proses pendidikan seperti bangunan, sarana pendidikan, alat bantu belajar, buku-buku, laboratorium, guru, manajemen, proses pembelajaran,dan sebagainya. Pendidikan memerlukan biaya yang besar, jadi tidak bisa murah apalagi gratis, tetapi harus dalam bentuk pendidikan dengan biaya terjangkau dengan tanggung jawab pemerintah untuk menutupi kesenjangannya.
Pemerintah harus ada kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan sehingga ditempatkan sebagai prioritas dalam keseluruhan pembangunan bangsa dengan segala konsekuensinya termasuk pendanaan pendidikan. Dana pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-undang Sisdiknas harus direalisasikan secara konsekuen. Di samping itu harus diupayakan optimalisasi peran serta masyarakat dalam memberikan dukungan dana bagi pendidikan sehingga kelompok masyarakat yang tergolong mampu dapat membantu mayarakat yang tergolong kurang mampu. Salah satu bentuknya adalah melalui kebijakan sistem perpajakan yang mengatur masuknya dana pendidikan secara khusus dari semua bentuk pajak yang dibayarkan oleh warga negara. Di sisi lain, evaluasi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyaluran anggaran perlu dilakukan secara sinergis dan integratif antar-stakeholders. Untuk mewujudkan kondisi ini, perlu dibangun rasa saling percaya, baik internal pemerintah maupun antara pemerintah dengan masyarakat, dan antara masyarakat dengan masyarakat, sehingga high trust society dapat ditumbuhkan. Keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, hingga pengawasan menjadi kata-kata kunci untuk mewujudkan efektivitas pembiayaan pendidikan
Indonesia hampir berhasil mencapai partisipasi universal dalam pendidikan tingkat dasar. Menyediakan akses terhadap pendidikan tingkat dasar bukanlah lagi tantangan utama pembangunan, walaupun masih tetap penting untuk menargetkan sisa 6 persen anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan dasar. Pemerintah menangani masalah kesenjangan investasi dalam pendidikan dasar dengan tepat, tetapi penanganan di kemudian hari harus lebih dititik beratkan pada peningkatan angka partisipasi dan kualitas pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Dalam tahun-tahun yang akan datang, Indonesia akan memiliki sumber daya untuk meningkatkan hasil pendidikan lebih jauh. Indonesia kemungkinan akan mendapatkan tambahan pendapatan fiskal yang berasal dari penerimaan yang meningkat, pembayaran biaya hutang yang lebih rendah, dan pengurangan subsidi. Sejak pengurangan subsidi BBM pada tahun 2005, Indonesia telah menghasilkan hampir US$ 10 miliar yang bisa digunakan untuk proyek pembangunan, dan sektor pendidikan sudah mendapatkan keuntungan dari peningkatan anggaran baru-baru ini.

Bahan Bacaan :
Fattah & Supriadi,2004 Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang,Depdiknas
Orang Muda, 2007 Kebijakan Pendidikan yang memiskinkan, WordPress.com/ weblog
Panca,Palupi,2007 Pendidikan Berkualitas Seharusnya untuk Semua,kompas cyber
Media,www.kompas.com
______Public Expenditure Review,Spending for Development:Making the Most of
Indonesia’s New Opportunities
Surya, Muhammad,2007 Kemampuan Orang Tua dan Masyarakat Rendah untuk
Membayar Biaya Pendidikan,artikel,www.pikiranrakyat.com

Tidak ada komentar: